Wedangan: Life Style Merakyat Khas Gunungkidul

Suasana wedangan di sore hari bersama Kakek


Dulu sewaktu saya kuliah di Jogja, saya termasuk mahasiswa yang tidak cocok dengan life style ala-ala anak hits yang hangout ke cafe-cafe atau pusat perbelanjaan gitu. Dasar ndeso! Entah mengapa rasanya gak nyaman aja sih. Preeettt... Bilang aja kalau pengiritan hahaha. Ya masa cuma buat secangkir kopi atau makanan aja harganya setara dengan dua atau tiga kali makan di warung ibu kos. Kan eman-eman ya, merepotkan diri sendiri aja ikut-ikutan yang lain

Nah... setelah saya berpetualang mendaki Gunungkidul -mendakine numpak motor ya...hmm podo wae ngapusi- saya nampaknya menemukan life style yang cocok dengan tipe saya yaitu sangat sederhana dan bermakna yaitu bernama "wedangan". Life style artinya gaya hidup yo lurr. Mirisnya, life style ini sering dianggap “biasa saja” oleh sebagian besar orang karena memang sangat sederhana dan mungkin kurang instagramable ya jadi nggak hits gituhh... 

Wedangan berasal dari kata Bahasa Jawa “Wedang” yang berarti air minum. Jadi berdasarkan asal-usul kata tersebut wedangan dapat diartikan sebagai aktivitas "minum-minum". Yungalahhh... minum-minum? Kemaksiatan macam apa ini? Eitsss... jangan salah sangka wedangan ini tidak memabukkan kok, jadi gak perlu takut digrebeg polisi kalau wedangan.
Starter pack wedangan dengan tambahan lilin cocok digunakan saat mati lampu.

Wedangan cukup menggunakan secangkir teh dan camilan seadanya sesuai selera dan bisa dilakukan di rumah masing-masing. Betapa mudah, murah dan praktis toh? Mau pakai teh bermerek sampai tidak bermerek terserah Anda. Bahkan hanya saat wedangan "oplosan" dilegalkan. Iya.. karena tidak jarang masyarakat "mengoplos" teh merek A-Z supaya mendapatkan cita rasa yang menurutnya pas.

Berdasarkan penuturan kakek saya wedangan merupakan kebiasaan turun-temurun dari simbahnya dulu. Hmmm... bisa jadi ini salah satu kearifan budaya lokal deh. Pakde saya pun mengatakan bahwa wedangan merupakan hal yang lumrah dijumpai dalam kehidupan masyarakat Gunungkidul baik yang di desa maupun kota serta tidak memandang apapun pekerjaannya.

Bisa dibilang dalam lingkup keluarga, wedangan merupakan ritual khusus sebum dan sesudah bekerja. Namun, dalam lingkup umum wedangan juga biasa dilakukan saat meronda, diskusi, dan nongkrong-nongkrong anak muda dan lain sebagainya. Life style sederhana namun mengena kan?
Wedangan bersama teman-teman.

Saya pun sangat menyukai kebiasaan wedangan ini karena dibalik semua "kebiasa-biasaan" itu tetap saja ada yang tidak biasa. Mengapa? Karena wedangan ini dapat mempererat kekeluargaan dalam sebuah keluarga. Saya masih ingat bagaimana kakek saya bercerita tentang masa mudanya, dan wejangan-wejangan yang diberikan pada anak cucunya. Bagaimana suasana ketika seluruh anggota keluarga berkumpul bersama tapi bukan di depan televisi dan handphone sehingga dapat saling bercerita tentang kesehariannya.

Menurut saya, berbagi kisah keseharian bersama keluarga menjadi hal kecil yang lebih bermakna ditengah serbuan dunia digital yang kadang membuat kita lebih mudah membuat story wa dari pada bercerita dengan keluarga. Hmmm bukankah ini life style yg positif dan patut dilestarikan? 

Tak hanya berguna dalam keluarga, wedangan dalam lingkup umum pun akan mempererat tali silaturahmi dengan tetangga di lingkungan sekitar bahkan yang bukan tetangga juga bisa. Ya.. wedangan bisa jadi salah satu sarana komunikasi dalam masyarakat.

Seiring kemajuan zaman wedangan juga menyebar ke cafe-cafe di pusat kota Gunungkidul atau di tempat-tempat wisata. Wow... ternyata life style turun-temurun juga bisa diterima oleh anak millenial tho? Syukurlah, namun jangan sekedar foto-foto makanan sama sibuk update story ya sampai lupa kalau lagi wedangan bareng temennya.

Salam Literasi! Salam Lestari!
Petani Bercerita! Menolak Diam!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita di Balik Panen Daun Jeruk Purut

Review Buku "Pasung Jiwa" Okky Madasari